Jangan Nikahi Orang Yang Kamu Berjasa Untuknya, Jika Itu Membuatmu Berbuat Zalim

Ada sebagian orang yang menikah dengan mantan pembantu, mantan murid, mantan bawahan dan semisalnya yang memiliki kedudukan lebih rendah atau berhutan

Ada sebagian orang yang menikah dengan mantan pembantu, mantan murid, mantan bawahan dan semisalnya yang memiliki kedudukan lebih rendah atau berhutang jasa kepadanya. Hal ini tidak masalah sebenarnya, asalkan si suami sadar bahwa orang yang dulunya dipandang sebagai bawahan atau pernah berhutang jasa kepadanya, kini ia telah menjadi isterinya dan menjadi orang yang oleh agama memberikan beban dan tanggung jawab kepada suami untuk memuliakannya sebagai isteri dan wajib menafkahinya.

Masalah muncul ketika cara pandang suami kepada orang yang kini telah menjadi isterinya masih sama dengan cara pandang sebelumnya. Ia memandang isterinya sebagai pembantu, sedangkan isteri sudah merasa ia sudah dinaikkan kelasnya. Suami masih memandang isterinya sebagai murid, sedangkan isteri tidak terima dan ia merasa kini telah menjadi seorang isteri yang kedudukannya beda dari sekedar hanya sebagai murid. Demikian juga dengan kasus lain yang semisalnya ketika seorang suami menikah dengan orang yang pernah ia bantu, berjasa kepadanya, atau menjadi bawahannya dimana setelah menikah suami masih belum mampu merubah cara pandangnya terhadap sang isteri.

Islam telah mengatur ini semua. Dalam surat An-Nisa' ayat 3 dijelaskan;

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ، فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا 

"Jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil kepada anak perempuan yatim, maka nikahi saja wanita lain yang baik untukmu, dua, tiga atau empat. Jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka cukupkan dengan satu saja atau dengan yang dimiliki oleh tangan kananmu (budak atau hamba sahaya). Hal ini lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Sebab turunnya ayat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bersumber dari Urwah bin Zubair yang bertanya kepada Aisyah radhiyallahu 'anha tentang apa maksud ayat Wa in khiftum an la Tuqsithu fil yatama... Maka Siti Aisyah menjawab bahwa ada seorang laki-laki yang menjadi wali bagi seorang perempuan yatim. Kemudian ia tertarik dengan harta dan kecantikannya. Rencananya mau menikah dengan perempuan yatim tersebut dengan mahar standar seperti kebanyakan wanita lainnya. Padahal idealnya untuk wanita cantik dan memiliki harta banyak maharnya lebih tinggi. Maka turunlah ayat yang melarang bertindak seperti itu. Boleh saja menikah dengan perempuan yatim asalkan berlaku adil dan memberi mahar yang tinggi sesuai yang layak untuknya. Jika karena yang dinikahi itu perempuan yatim lalu menjadi alasan untuk berbuat semena-mena, maka diperintahkan untuk mencari perempuan lain saja.

Dari ayat ini bisa diambil makna umum, yaitu kita dilarang untuk menikahi orang yang kita berjasa untuknya jika seandainya hal ini membuat kita berlaku semena-mena dan tidak adil. Siapapun yang sudah menikah dengan mantan bawahan, mantan murid atau mantan pembantu, sadarlah bahwa sekarang mereka adalah isteri Anda dimana mereka punya hak dan kewajiban yang berbeda dengan kondisi mereka sebelumnya. 

[Demikian salah satu poin dari Pengajian Kitab Rawai'ul Bayan bersama Tgk. H. Sulaiman Hasan (Walidi Panteraja) tadi pagi di Ma'had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga]

Tulisan Tgk H Muhammad Iqbal Jalil .

من الدروس اليومية لمجلس حاوي الخيرات